Langit gelap membentang hiasi malam, tanpa adanya sebarang bintang maupun bulan yang terangi jalanan yang dipenuhi hiruk-pikuk warga.
Bahkan, para pria bersenjatakan pistol pun tampak tak mengindahkan malam yang kian larut. Terus saja, berusaha mengejar si gadis bertudung yang melesat gesit lewati gang sempit. Maka semakin sulit pulalah para pria dengan titel pengawal itu mengejarnya. Dengan barang-barang yang memenuhi gang sempit itu, belum lagi dilemparkan beberapanya pada mereka, membuat umpatan dan tembakan beruntun tak lepas sebagai pelengkap acara kejar-kejaran ini.
Dengan tenang, gadis berambut biru toska itu melangkah lebar, semakin cepat dan kian melaju tanpa adanya niatan berhenti. Keringat basah membanjiri wajahnya yang terasa memanas karena hawa dan kepalanya yang memang selain terbungkus tudung, juga tertutup oleh kerah. Belum lagi dia harus menghindar dari tembakan yang terus-menerus diarahkan padanya.
“Mau sampai kapan kau lari, Bocah Sialan?!” seru si prajurit. Lari paling depan, paling ngos-ngosan, tampaknya si pemimpin rombongan tak bergunanya itu.
Lariannya semakin dipecut tatkala keluar dari gang. Melewati kawasan sunyi yang memang sangat jarang dilewati orang-orang. Ia melihat pagar pembatas dinding bata yang ditumbuhi lumut. Strukturnya jadi tampak licin. Tapi, sudut bibirnya tertarik, bentuk smirk. Dari ujung matanya, ia melirik para prajurit yang masih gigih mengejarnya. Sebelum akhirnya, ia meloncat pada pagar itu, satu tangannya bertumpu di atas dan dia turun dengan sangat mulus. Larinya memelan sementara tangannya merogoh tas pinggul, mengeluarkan sesuatu berbentuk bulat, lantas melemparnya melewati pagar pembatas.
Sunyi beberapa saat, sebelum akhirnya asap mengepul tiba-tiba tanpa peringatan, lantas prajurit-prajurit itu dengan cepat mengeluarkan seribu satu umpatan padanya. Yang dikatai, hanya pamerkan senyum miring. Tangannya melambai, meskipun tak akan terlihat karena terhalang dinding pembatas. Dia berbalik, tak lagi berlari. Mengayunkan kedua tungkainya dengan santai, keluar kawasan sunyi itu. Melewati jalan tikus, gang kecil gelap.
Dia dengan santai memasukinya. Seolah sudah terbiasa. Siulan pelan mengudara, pecahkan hening yang berkuasa. Barang-barang yang menumpuk, ditambah dengan minimnya penglihatan di kegelapan, membuatnya beberapa kali tersandung. Namun, tak ada decakan kesal yang keluar dari mulutnya.
Setelah, beberapa saat berjalan di antara gelapnya gang, di ujung tampak cahaya. Suara riuh mulai menyapa pendengarannya. Ia meletakkan sehelai rambutnya pada belakang telinga. Mempercepat jalannya untuk keluar dari gang. Hingga ketika tubuhnya ditelan cahaya, ia berhasil menemukan dirinya di tengah-tengah kota yang kini sesak dengan orang-orang yang berlalu-lalang.
“Kemari dan belilah koran ini! Ada berita besar mengenai munculnya kembali pahlawan galaksi!”
“Jadi, itu bukan dongeng semata?”
Saaochi, gadis itu menarik tudungnya ketika melewati kerumunan. Dibawanya kedua tungkai untuk membaur bersama orang-orang ini. Telinganya tanpa perintah darinya pun memasang pendengaran dengan baik. Seolah, berusaha mencari informasi. Meskipun sekarang ia sedang tidak membutuhkan hal apa pun.
Topik hangat di kota yang bagai baru diangkat dari panggangan adalah mengenai kumpulan pahlawan yang kembali lagi. Saaochi sebenarnya tidak terlalu peduli, lagi pula di hidup orang yang pernah ia jahati dengan perbuatannya, dia adalah penjahat kejam, yang tak peduli dengan kehidupan orang lain. Saaochi benar-benar tidak akan peduli, seandainya saja ia tidak direcoki dengan penjual koran yang terus-menerus menyodorkan dagangannya padanya.
“Tidak, terima kasih.”
“Anda akan menyesal jika tidak membacanya. Ini berita yang sangat menggemparkan seluruh galaksi! Sudah seratus tahun semenjak pahlawan galaksi menghilang. Anda pasti tidak ingin ketinggalan beritanya!”
Saaochi tampilkan senyum, birainya sampai menyipit. “Tidak. Memangnya si pembuat koran itu tahu dari mana berita ini? Dia bertemu langsung dengan pahlawannya?”
Si penjual itu tampak salah tingkah, bicaranya jadi gagap, tanpa sadar wajahnya juga keringatan. “I-itu ....”
Saaochi mendengus. Ia melewati penjual itu. Memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana. Berjalan dengan wajah bersungut-sungut. Hawa malam hari di musim panas, memang selalu berhasil membuat emosi Saaochi menjadi tidak stabil.
Apalagi kalau direcoki tukang penjual koran yang pernah mencetak wajahnya di koran sebagai buronan.
=••=
Derit kayu nyaring berbunyi di antara kesunyian. Beberapa burung yang bertenggar, terkaget hingga terbang menjauh. Saaochi abaikan hal itu, melangkah masuk ke dalam rumah kayu yang beberapanya sudah berlubang termakan rayap. Kedua tungkainya ia bawa lebih dalam memasuki rumah itu. Dan menemukan seorang laki-laki yang tengah sibuk memperbaiki barang aneh.
“Kau melakukan apalagi Saaochi?”
Langkah Saaochi terhenti. Maniknya menatap si lelaki berkacamata yang bahkan tidak melihat ke arahnya saat bicara.
“Membantu meringankan tugas polisi,” jawab Saaochi, sekenanya. Lantas, menuruni anak tangga hingga tuntas.
“Aku sudah memperingatkanmu. Kalau kau hilang tiba-tiba, aku tidak akan mencarimu,” peringat si remaja. Meletakkan obengnya pada sembarang tempat. Ditatapnya Saaochi yang terlihat acuh tak acuh.
“Mereka tidak akan bisa menangkapku.” Mendengar helaan napas berat dari si lawan bicara, membuat Saaochi dilanda rasa bersalah tiba-tiba. “Aku janji ini yang terakhir kalinya, Yan.”
Yan hanya berdeham. Tidak berminat membahas hal ini lebih lama lagi. Dia menyibukkan diri mencari sesuatu di dalam kotak peralatannya.
Merasa diabaikan, Saaochi memilih untuk duduk di atas lantai. Dia mengambil map cokelat yang baru saja dicurinya dari rumah salah satu pejabat. Ditatapnya lama map tersebut tanpa ada niatan membuka. Lagi pula, ia tak terlalu berminat ikut campur urusan si pejabat yang telah lama memiliki dendam dengannya itu. Selain karena sudah berkali-kali Saaochi memecah masuk rumahnya diam-diam, Saaochi juga sering mengancamnya akan mengatakan pada semua orang di kota, bahwa pejabat kesayangan mereka itu telah melakukan hal kotor, korupsi. Namun, Saaochi rela bermasalah lagi dengannya, karena mendapat informasi yang tidak bisa dia biarkan. Pekerjaan gelap, percobaan pada makhluk hidup.
‘Dasar gila.’ Saaaochi mendecih. Menyimpan map itu kembali.
Saaochi menatap Yan yang baru saja mendaratkan tubuhnya di dekatnya. Helaan napas berat itu, seakan menandakan bahwa ia seharian ini sudah bekerja keras.
“Yan!”
Yang dipanggil hampir saja tersedak gula batu yang baru saja dilemparkan ke mulut. Yan melotot ke arah Saaochi.
“Aku akan jadi pahlawan!”
Yan mengerutkan kening. Telusuri wajah Saaochi yang tampak percaya diri sekali. Senyumnya mengambang sampai kedua matanya menyipit, entah mengapa Yan seperti melihat cahaya imajiner yang menyilaukan di balik badan Saaochi.
“Pahlawan? Tapi, ‘kan kau penjahatnya.”
Saaochi merasa bahwa dia baru saja ditusuk fakta sampai mengeluarkan darah tak terlihat. Saaochi tampilkan wajah cemberut pada Yan yang acuh tak acuh.
“Heh, memangnya penjahat tidak boleh tobat jadi pahlawan?” balas Saaochi, mengembalikan kepercayaan dirinya. Dia mengusap rambut poninya ke belakang.
“Tidak usah sok keren. Kau pasti sudah tercemar oleh berita di luar. Pahlawan galaksi itu cuma rumor yang dibesar-besarkan,” ujar Yan. Membuka koran harian yang dibelinya.
“Siapa juga yang mau jadi pahlawan di Planet Mursa? Maksudku pahlawan kota ini. Bahkan negara ini, sepertinya.”
“Terdengar meragukan.” Setitik sweatdrop imajiner muncul di pelipis Yan. “Tapi, dari mana kau tahu kalau Pahlawan itu ada di Planet Mursa? Bahkan di koran saja tidak ada beritahukan.”
Saaochi mengalihkan pandangannya ke bawah, hening berkuasa sebentar. Karena setelahnya, Saaochi menunjuk dadanya dengan jempol, lantas berkata dengan suara lantang. “Ini ‘kan Saaochi! Memangnya apa yang tidak dia tahu.”
Yan berdecak. Akhirnya beranjak dari duduk, masuk ke dalam kamar. Tidak memedulikan Saaochi yang menyeringai ke arahnya.
Setelah Yan benar-benar menghilng dari balik pintu, seringai Saaochi memudar. Wajahnya menggelap, ketika kedua tangannya yang bertaut semakin menguat menggenggam satu sama lain.
=••=
“Air, air!”
“Ada seseorang yang terjebak di dalam!”
“Di mana Pemadam Kebakaran?! Kenapa tidak ada satu pun yang menjawab telepon ?!”
Suara-suara warga terdengar bagai dengung lebah di telinganya, yang ia dengar sekarang sebatas jantungnya yang berdetak cepat. Tubuhnya terasa basah, hingga tanpa sadar air menitik dari ujung rambutnya. Napasnya tertahan, tersekat bagai lehernya dicekik. Hawa panas yang seakan membakar tubuhnya, tak dapat ia rasakan. Pandangannya hanya bisa terfokus pada besarnya api yang dengan ganas melahap rumah kayu di depannya. Dadanya terasa sakit, isi perutnya seakan dikocok hingga ia merasa sangat mual. Kepalanya bagai diguncang menatap pemandangan di depannya.
Orang-orang di belakang berteriak padanya untuk menjauh, ketika api sudah tak dapat lagi dikendalikan hanya dengan sebatas beberapa ember kecil. Tapi, tak ada satu pun yang berusaha menarik Saaochi untuk menjauh dari rumah yang memancarkan panasnya api. Ketika kakinya tanpa sadar melangkah mendekat, dengan pikiran kosong, Saaochi hampir saja melompat masuk dalam rumah itu jika tidak seseorang menarik tangannya dengan paksa. Menyeret Saaochi yang masih belum berada pada kesadaran penuhnya.
“Saaochi ... hei. Tenanglah.”
Saaochi tidak menjawab suara itu. Bahkan tidak menyadari bahwa orang yang menyelamatkannya, sudah banjir dengan darah.
Barulah, saat itu Saaochi akhirnya menitiskan air matanya. Bukan sekedar keringat yang bacakan ekspresinya. Dia mengusap wajahnya yang pucat pasi. Seluruh tubuhnya bagai kesemutan ketika ia merasakan duri perlahan terus bertumbuh, memenuhi tubuhnya. Dia berusaha untutk tetap tenang. Sampai akhirnya, ia rasa berhasil mendapatkannya, ditatapnya wanita yang masih setia di sampingnya.
“Kanan, kau siapa orangnya, ‘kan?”
Kanan tidak menjawab. Ditatapnya Saaochi sebentar, seolah mencari-cari sesuatu di wajah gadis itu. “Kau sudah tahu. Dia ingin membakar dokumen yang kau curi bersama denganmu di dalamnya. Tapi, dia salah perkiraan.”
Saaochi menggeram, giginya menggertak. Dia akhirnya berdiri. Berjalan dengan cepat, mengabaikan panggilan dari Kanan.
=••=
Pejabat. Hal yang sangat Saaochi benci di dunia ini. Apalagi pejabat yang mengurus kotanya. Meski ia memanfaatkannya—tentu saja juga seluruh rakyat kota ini—dengan ancaman, tetap saja Saaochi membencinya. Dan sekarang kebencian itu semakin menguat hingga rasanya Saaochi bisa mati kapan saja karena emosi berlebihan ini juga perlahan menggerogoti sisa hidupnya. Ia tidak bisa tenang meski mencoba. Kemarahannya terlalu kuat, menggebu-gebu hingga dirinya lupa cara bernapas. Bahkan memecah masuk ke dalam rumah besar yang dipenuhi penjaga tanpa ketahuan pun menjadi hal mudah karena dia dipandu oleh emosinya sendiri.
Saaochi berdiri menempeli dinding. Lewat celah bawah pintu, lampu ruang kerja di dalam menyelinap keluar. Suara tawa menggelegar terdengar dari dalam. Mendengarnya saja sudah membuat seluruh tubuh Saaochi bergidik hingga tangannya gemetar ingin mencekik tenggorokan itu sampai tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
“Semuanya aman. Aku juga terbebas dari anak itu. Kau benar. Dia memang harusnya sekak lama kubunuh. Sekarang aku sudah punya hakim yang akan mendukung di belakangku meskipun aku ketahuan.”
Saaochi mengepalkan tangannya. Pisau dalam genggamannya mengerat, hingga urat-uratnya timbul. Pupil matanya mengecil, giginya bergelamatuk, salurkan amarah. Dia merasakan tubuhnya kian melemah dan pandangannya memudar. Entah karena ingin pingsan, atau karena matanya dipenuhi air.
Pada akhirnya, Saaochi mengabaikan segala pergerakan diam-diamnya. Ditendangnya pintu hingga menampar dinding di sebelahnya. Si empu yang berada di dalam terkejut. Menatap horor ke arah Saaochi yang berjalan ke arahnya.
“Ka-kau ... bagaimana bisa?! Pe-pengawal—“
Saaochi mendorongnya ke dinding, mengapit tubuh pria itu. Menekan lehernya dengan telapak tangan. Saaochi bernapas dengan berat, jantungnya berdetak lebih kencang.
“Lebih parah mana, mencuri uang rakyat, atau mencuri dari orang kaya?”
Saaochi lancarkan pertanyaan tanpa nada di dalamnya. Ia menyeringai, tatkala melihat pria itu panik saat duri mulai tumbuh di sekujur tubuhnya, menusuk kulitnya tanpa ampun. Perlahan air mata yang memenuhi pelupuk matanya, jatuh tanpa seizinnya. Semakin banyak duri yang tumbuh pada tubuh pria itu, semakin banyak pula luka di tubuh Saaochi Darahnya menitik di lantai, bersamaan dengan air matanya yang tak berhenti meski seberapa inginnya Saaochi menghentikan tangisannya.
Pria itu berusaha mengatakan sesuatu, mulutnya tercungap-cungap bagai ikan yang dilempar ke darat. Tangannya menggenggam pergelangan tangan Saaochi, memuntahkan darah dari mulutnya. Matanya basah bukan sebab air mata, namun karena cairan kental merah mengalir keluar dari pelupuk matanya. Seluruh tubuhnya yang ditumbuhi duri terasa sangat perih, rasanya bagai dibakar hidup-hidup.
“Ka-kau yang me-mulai i-ini se-semua, Sialan,” ujarnya. Akhirnya berhasil mengeluarkn suara meski terpatah-patah.
Pandangan Saaochi kosong tatkala pipinya masih basah oleh air. Dia akhirnya melepaskan cengkeraman pada pria itu saat merasakan tubuhnya sudah berada diambang batas. Pria itu jatuh, posisinya seakan bersujud di atas kaki Saaochi. Batuknya begitu keras, seakan merupakan teriakan permintaan tolong. Mungkin, efek racun durinya mulai bekerja. Tapi, Saaochi malah menendang perut pria itu hingga terpental ke dinding. Dia baru saja mengeluarkan pisau dari sakunya, saat mendengar derapan langkah kaki dan suara teriakan dari bawah menuju ke sini.
Ditatapnya pintu keluar lantas beralih pada pria yang hampir tak dapat lagi mempertahankan napasnya. Saaochi mendecih, berbalik mendekati jendela besar di belakangnya. Derapan langkah kaki itu terdengar semakin mendekat, tapi Saaochi tetap tenang. Seakan dia sudah tidak peduli lagi. Tangannya mengepal kuat hingga urat-urat terlihat. Dia menariknya ke belakang, sebelum akhirnya melayangkan tinju ke arah jendela itu. Lantas, seluruh kaca pecah, bertebaran di mana-mana. Angin malam menyambutnya, melambaikan rambutnya yang semakin berantakan. Tepat saat langkah kaki itu benar-benar mendekat, Saaochi melompat keluar jendela. Meki sebelum itu, ia masih sempat melempar bom rakitan yang segera meledak saat Saaochi berlari membaur dalam kegelapan.
=••=
Saaochi memuntahkan darah dari mulutnya tatkala batuknya terus-menerus menyerang. Diusapnya kasar bibirnya yang basah oleh cairan anyir kental itu. Saaochi sepenuhnya sadar, tubuhnya telah terkena racun dari durinya sendiri. Entah ia harus bersyukur atau tidak, karena berhasil tidak mati setelah menelan bulat-bulat kekuatannya sendiri.
Dibawanya langkah kaki menuju ke dalam gua gelap di dalam hutan itu. Sebelum benar-benar memasukinya, Saaochi sempat berhenti sebentar. Mencari benda pipih persegi di dalam kantongnya. Ia dekatkan benda itu pada mulutnya. Menarik napas dalam perlahan.
“Situasi.”
Suara ricuh terdengar dari seberang. “Kacau. Seluruh aparat polisi mencarimu sekarang. Wajahmu ada di mana-mana di kota ini.”
Saaochi membentuk senyum miring. “Aku akan pergi malam ini juga.”
Ada jeda beberapa saat di seberang sana. Kanan mengulangi kata-kata Saaochi dengan ragu dan pelan. Sampai akhirnya terdengar jawaban lain. “Ke mana? Dengan apa?”
“Kapal angkasa milik Yan. Aku tidak tahu ke mana. Ke mana kapal ini membawaku, ke sanalah tujuanku.”
Saaochi melangkah masuk ke dalam ketika suara di sana terdengar mengencang, terkejut. Setelah itu diiringi dengan ceramah yang suaranya terdengar mirip dengungan di telinga Saaochi. Kesadarannya semakin teriris, kian menipis layaknya dipotong menggunakan pisau. Dia juga kehabisan banyak darah karena terluka akibat kekuatannya.
“Hei, jika melihat benda bulat terbang dari arah selatan, segera siarkan seluruh kejahatan orang itu.”
Segera suara di sana menghilang. Menyisakan keheningan. Saat Saaochi berhasil menemukan kapal angkasa bulat yang tersembunyi di balik sulur-sulur penuh duri, baru helaan napas di sana terdengar.
“Baiklah. Berhati-hatilah.”
Saaochi mengangguk. “Tentu. Selamat tinggal.”
Setelah mematikan panggilan, Saaochi menghempas benda itu, memijaknya hingga tak berbentuk. Lantas tubuhnya di bawa menuju kapal angkasa. Memasukinya dengan susah payah membuka pintu. Dia menghela napas pelan, kala melihat tombol-tombol di dalam sana. Mungkin memang karena kapal ini belum sepenuhnya siap. Tapi, Saaochi yang pernah membantu Yan membuat kapal ini, setidaknya tahu cara mengaktifkan auto pilot.
Setelah beberapa menit mengatur, Saaochi menarik napas. Berusaha untuk tenang dan fokus ke depan. Tangannya menggenggam kemudi yang sudah terkena bercak darahnya sendiri. Hitungan mundur dari sistem terdengar, lantas benda itu melesat, hancurkan atap gua, meluncur lebih tinggi ke langit. Melewati helikopter yang tengah mencarinya.
Dari bawah, Saaochi dapat melihat bagaimana layar lebar yang tersiar di seluruh kota yang tengah menampilkan wajahnya sebagai buronan, kini berganti menjadi video-video bukti korupsi yang didapatkan Saaochi semasa dulu.
Saaochi menghela napas pelan. Matanya perlahan tertutup, ketika dia berhasil meninggalkan kota dan tampaknya juga meninggalkan planet yang ditinggalinya. Diletakkannya lengan yang masih mengucurkan darah ke dahinya. Dia berusaha mengatur napas dan membuat tubuhnya rileks. Tanpa sadar, kesadarannya perlahan menghilang ditelan gelapnya angkasa.
=••=
‘... Sampai—Murs—dzzt.”
Saaochi perlahan membuka matanya saat cahaya berbondong-bondong menyerang penglihatannya. Samar-samar dia mendengar sesuatu berbicara.
‘Kap—dzzt—meledak—tinggalkan kapal.’
Maniknya mengecil, dia dengan cepat menyadari bahwa kapal yang dinaikinya sekarang terbalik. Dengan tenaga yang ada, Saaochi menendang pintunya dan buru-buru keluar dari kapal angkasa yang terus memberi peringatan. Dia beberapa kali terpelesat saat berlari menjauhi kapal. Sampai akhirnya, hawa panas menjalari punggungnya kala suara ledakan menyakiti telinganya. Ia tersungkur ke tanah, hanya untuk berbalik menatap kapal angkasa peninggalan Yan yang telah rusak.
Setelah beberapa saat tertegun, Saaochi akhirnya berdiri, menepuk celananya yang kotor oleh tanah dia menyusur pandangan ke sekeliling. Asri dengan pepohonan yang menjulang, bunga-bunga yang bermekaran, beberapa burung yang hinggap di ranting-ranting pohon. Terasa sangat damai.
“Di mana ini?” Dahi Saaochi mengernyit, berusaha mengingat kata-kata sistem. “Murs ... Mursa? Planet Mursa?” Saaochi diam sejenak untuk memproses semuanya.
Tanpa sadar pandangannya mengarah pada dua orang yang perlahan berjalan ke arahnya. Seorang wanita di depannya tampak waspada padanya, namun saat mereka berhadapan, senyum tetap hadir di wajahnya.
“Halo. Apa yang terjadi?”
Saaochi tertegun sebentar. Dia tidak segera menjawab pertanyaan wanita berambut merah itu. Ada banyak pertimbangan dalam kepalanya. Bagaimana jika dia bergabung saja sekalian dengan pahlawan ini? Setidaknya, dia bisa mendapatkan pekerjaan. Atau setidaknya tidak akan mati dengan sia-sia. Dan bisa meninggalkan tempat tinggalnya untuk selamanya. Lagi pula, duri di tubuhnya tidak mungkin tidak berguna, ‘kan? Meski niatnya sama sekali bukan untuk menyelamatkan orang, setidaknya dia ingin menyelamatkan dirinya sendiri.
“Aku ingin bergabung menjadi pahlawan!” Saaochi memegang dadanya. Wajahnya tampilkan tekad.
Pria yang berada di samping wanita itu tampilkan senyum tipis, matanya menyipit. “Tentu saja.”
=••=