Suara yang tegas sekaligus lembut itu membuat sosok bocah kecil bernama Rhino pun menoleh. Mendapati sosok yang tak jauh berbeda darinya tengah tersenyum dengan tangan terulur.
Rhino lompat turun dari tempat duduknya. Meraih tangan yang adalah kakaknya itu, lalu bergandengan menyusuri jalanan bersalju agar cepat sampai ke dalam rumah.
Planet Ferless, sebuah planet di tata surya yang tempatnya cukup tersembunyi dari planet lain. Planet itu berada di antara puluhan planet mati sehingga tidak akan ada yang menyadari keberadaan planet Ferless ini. Meski begitu, planet Ferless memiliki keunikan pada penduduknya yang tidak di miliki penduduk planet lain.
Rambut mereka adalah simbol ingatan. Semakin banyak yang mereka tahu dan mereka ingat, akan semakin banyak helai rambut mereka menjadi hitam. Begitu juga sebaliknya jika helai rambut itu putih.
Mata mereka adalah simbol ekspresi. Warna mata mereka berubah-ubah tergantung mood si pemilik mata. Itu membuat para penduduk di planet Ferless jadi tidak bisa berbohong kepada satu sama lain.
Tubuh mereka adalah simbol sejarah. Akan tumbuh tato unik berwarna hitam pada bagian tubuh yang terkait dengan peristiwa atau kejadian tertentu. Dan tato tersebut akan abadi meskipun pemiliknya hilang ingatan atau mati.
Selain itu, beberapa penduduk memiliki kekuatan yang disebut sebagai bakat suci. Dari sekian banyak penduduk yang ada, hanya akan ada segelintir orang saja yang memiliki kekuatan.
Dan Rhino adalah salah satu dari segelintir orang tersebut.
"Hatchi!"
"Tuh kan, kamu kena flu."
Rhino menggosok hidungnya yang memerah. "Maaf, Kak Rio."
Pemuda yang ia panggil dengan sebutan Kak Rio itu pun tersenyum. Ia berjongkok di hadapan adiknya dan membantu membenarkan syal yang di pakai Rhino. "Tidak apa-apa, nanti kita mandi air panas ya."
Rhino mengangguk dengan gemas. Membuat Rio ingin sekali melahap dan menelan bulat-bulat adik satu-satunya itu.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
"Rhino, kamu melamun lagi."
Rhino menoleh dengan pelan menghadap asal suara. Itu kakaknya, Rio. Memandang heran terhadap adiknya.
Tidak ada jawaban dari Rhino. Rio segera duduk di sebelah adiknya, melihat apa yang selalu adiknya lihat di pagi hari.
Yang Rio tahu, Rhino punya kebiasaan untuk bangun di pagi hari dan duduk diam sambil melihat langit. Rhino adalah anak yang amat pendiam, jadi tidak pernah Rhino bercerita tentang apa yang sebenarnya ia lihat di setiap pagi itu.
"Rhino, kenapa kamu selalu melihat langit?" tanya Rio pada akhirnya. Meski pertanyaan ini sering ia tanyakan dulu. Tapi, Rhino tidak pernah menjawabnya.
Rhino lagi-lagi tidak menjawab apapun. Pandangannya kosong menghadap ke langit. Rambut putih yang tersibak dan manik seputih salju itu. Terkadang Rio bertanya-tanya soal Rhino.
Dokter mengatakan bahwa Rhino memiliki kerusakan ekpresi yang menyebabkan Rhino sulit mengekspresikan emosi. Nama penyakitnya, Alexithymia. Dan Rhino adalah penduduk planet Ferless pertama yang memiliki penyakit seperti itu.
"Rhino," panggil sang kakak.
Rhino tiba-tiba menunjuk ke langit. Membuka mulut, ia bersuara. "Saya selalu bermimpi, tentang langit."
Rio langsung excited mendengar adiknya akan bercerita. "Oh ya, lalu?"
"Saya melayang di langit, di antara awan-awan."
Rio tersenyum-senyum. Berpikir mimpi Rhino cukup indah. Bahkan mata Rio berubah warna menjadi hijau.
"Di sana, ada seorang perempuan asing mendekati saya. Ia memakai jubah berwarna hitam, lalu matanya cantik sewarna senja. Dia bilang--"
"Kamu adalah yang terpilih oleh takdir."
Rio terhenyak kaget. Seolah-olah hal yang diceritakan adiknya itu bukan mimpi semata. Ada makna dalam mimpi itu yang Rio rasa adalah sesuatu yang sangat besar dan menakutkan.
Rhino masih setia menatap langit. Kemudian bergantian melihat ke wajah kakaknya. "Kak, siapa yang membuat hologram itu?"
Rio melirik sekilas ke langit. Ia juga tahu tentang cerita itu. "Salah satu anggota pasukan penyelamat, kenapa?"
Jeda beberapa detik sebelum Rhino kembali membuka suara.
"Hologram itu sudah tidak bisa bertahan lagi."
"Katanya, takdir akan segera dimulai."
Tepat setelah itu, tiba-tiba datang ledakan dari sisi lain planet Ferless. Rio berdiri dengan kaget. Memandang ke atas langit. Ia temukan hologram itu meredup.
Dan hujan bom semakin menjadi.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
Planet Ferless sudah hancur porak poranda akibat serangan alien asing berwajah jahat yang hendak menginvasi planet mereka. Sebagian penduduk telah tewas. Beberapa anak dengan bakat suci itu dikurung dan dicuri kekuatannya.
Sudah tidak ada lagi harapan untuk mereka. Segalanya telah dirampas dan dicuri.
Teriakan penuh kesakitan itu menjerit bagai lagu untuk para alien jahat. Bau amis dimana-mana. Cahaya yang menerangi hanyalah api bekas ledakan yang membakar rumah-rumah penduduk.
Rio berlari dengan tergopoh-gopoh. Membawa Rhino yang tidak sadarkan diri akibat terlempar saat ledakan.
Pandangan Rio berkunang dan buram. Kepalanya dibasahi darah. Kaki dan tangannya lecet. Namun ia tetap paksakan untuk berlari.
"Akh!"
Terjatuh dirinya karena sudah tidak sanggup. Rhino terhempas ke rerumputan. Rio berusaha bangkit, namun apa daya tubuhnya tidak sanggup lagi bahkan untuk sekedar menggerakkan kaki.
"Rhino ... Rhino ... Bangun dan larilah."
Rhino bergerak, membuka mata. Ia menoleh dan menyaksikan sang kakak dalam keadaan mengenaskan.
Sang kakak menarik tangan Rhino. Menaruh sebuah liontin berwarna hitam pekat yang dibasahi darah akibat lukanya. "S-selamatkan ... dirimu."
"B-berjanjilah ... kau akan s-selamat."
Rio berusaha menghirup oksigen meski sakit. Rhino mengubah posisinya menjadi duduk. Ia julurkan kedua tangannya mengarah ke kepala sang kakak.
"Kak, aku--"
Jleb!
Sebuah panah menancap mulus di kepala Rio. Pandangan Rio hitam, kepalanya jatuh ke tanah. Dan dia, mengembuskan napas terakhirnya.
"Kak? Kak Rio?"
"Ada yang masih hidup rupanya."
"Hei, bukankah itu bocah dengan bakat suci? Ternyata dia kabur."
"Tangkap dia."
Segerombol alien jahat berdatangan. Rhino masih terpaku pada kakaknya.
Manik Rhino yang awalnya putih itu, perlahan menjadi hitam. Hitam pekat. Dan air mata, jatuh meluncur di pipi kirinya.
Bagi Rhino yang hanya mengenal kakaknya saja. Kini, kakak yang merupakan dunianya itu. Telah mati di depan matanya.
Dan Rhino, telah kehilangan dunianya.
"Aaa ..."
Rhino menunduk. Memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Ia menunduk dengan dalam. Terlihat seperti benar-benar menyesal.
"Aaahhhh ..."
Muncul aura berwarna putih di sekeliling tubuh Rhino. Para alien itu was-was, berpikir untuk menebas kepala Rhino.
Namun Rhino, ternyata memiliki bakat yang jauh lebih mengerikan dibanding anak-anak berbakat yang lain.
"AAAAAAAAAAA!!!!"
Cahaya putih terang benderang dari Rhino menembus langit. Seluruh planet dalam sekejap ditutupi oleh aura putih.
Semua alien tiba-tiba mulai terkejut saat tubuh mereka menyusut. Dan lama-kelamaan menghilang bagai debu. Bahkan penduduknya juga.
Planet Ferless mulai hancur dan retak. Semua tumbuhan dan pemukiman mulai lebur bagai debu. Semua makhluk hidup di atasnya juga perlahan menghilang.
Rhino telah mencuri waktu.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
Semua telah hancur dan rusak. Tidak ada yang tersisa. Benar-benar kosong dan hampa. Seperti sebuah planet mati, begitulah keadaan planet Ferless sekarang.
Rhino telah mencapai batasnya. Ia terduduk diam menatap langit.
Matanya hitam. Rambutnya putih sebagian hitam. Muncul tato semicolon yang muncul di bagian bawah mata kirinya.
Rhino menoleh ke kanan dan ke kiri. Menemukan sebuah rongsokan berbentuk pesawat angkasa. Tanpa berpikir lama, ia seret dirinya ke sana. Menggunakan kekuatannya, ia berhasil membuat pesawat itu kembali mulus seperti baru diciptakan.
Rhino memasuki pesawat itu dan mulai menerbangkan pesawat untuk pergi dari sana. Namun karena baru pertama kali mencoba, pesawat angkasa tersebut sempat oleng ke kiri dan ke kanan.
Sampai akhirnya ia berhasil keluar dari planet tersebut. Kapal angkasanya melayang-layang tanpa tujuan.
Rhino mulai lemas. Pandangannya kabur. Dalam sekejap, ia sudah terjatuh tak sadarkan diri di kursi kemudi.
Hingga pesawat tersebut menuju ke sebuah planet.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
Rhino membuka matanya, mengerjapkan matanya berkali-kali.
"Oh, kamu sudah siuman."
Rhino menoleh ke arah seorang perempuan berambut merah yang tengah membawa nampan makanan. Perempuan itu menaruh nampannya di atas nakas. Lantas menyodorkan ke Rhino segelas air.
Rhino menerima dan meneguknya. Selesai, ia taruh di antara pahanya. Kemudian melirik ke arah perempuan itu.
"Siapa namamu? Ah, sebelumnya, nama saya Maula."
Rhino mengangguk. "Rhino."
Maula tidak bertanya lebih lanjut. Dilihat dari kondisi Rhino, sepertinya ada suatu hal yang terjadi. Dan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Maula dengar-dengar, memang banyak gosip terjadi semenjak hologram di langit mulai meredup. Firasat buruk menghantui. Maula rasa, akan terjadi sesuatu yang besar.
Perempuan itu tidak bertanya apapun ke Rhino. Tahu jika hal itu bukan sesuatu yang dirinya pantas untuk tahu. Sementara Rhino hanya diam saja, lagi-lagi memandang langit lewat jendela.
"Kak," panggil Rhino. Maula melihat ke arahnya.
"Ya?"
"Kakak tahu soal cerita penyelamat galaksi?"
Maula terdiam beberapa saat. Kemudian mengangguk, ia pernah mendengar rumor penyelamat galaksi waktu kecil.
"Saya tahu sebagian."
"Ceritakan padaku," pinta Rhino. Rhino menatap Maula, bukan dengan ekspresi meminta tolong. Namun seolah-olah memiliki kewajiban untuk mengetahui cerita itu.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
Berbulan-bulan berlalu. Rhino tinggal bersama Maula di rumahnya. Rhino membantu keluarga Maula untuk berkebun dan mengurus hewan ternak. Meski awalnya menolak keberadaan Rhino, keluarga Maula berangsur-angsur menerima Rhino sebagai bagian dari mereka.
Rhino setiap pagi sekali, akan bangun duluan dan duduk di luar sembari menatap langit. Kadang juga sambil membaca buku yang ia pinjam dari perpustakaan desa.
Rambut Rhino kian menghitam saat diceritakan soal penyelamat galaksi atau membaca buku yang menjelaskan soal hal demikian. Sekarang, separuh rambutnya telah menghitam.
"Rhino, ayo bantu memberi makan ternak," ajak Maula. Rhino mengangguk, ia turun dari kursinya dan mengikuti Maula seperti anak ayam.
Lalu, satu hal lagi tentang Rhino yang diketahui Maula adalah--
"Rhino, awas! Papannya!!"
Rhino kurang gesit. Atap peternakannya ada yang jatuh ke arahnya. Namun, atap itu tiba-tiba patah dan terbelah dua. Lalu jatuh tanpa mengenai Rhino sedikit pun.
Rhino punya keberuntungan yang rasanya terlalu besar. Big luck sebutannya kalau dalam permainan video game. Dan hal itu selalu terjadi.
Maula keluar membawa banyak kotak kayu. Diikuti Rhino yang membawa barang sama. Meski Rhino cuma sanggup membawa satu kotak kayu, berbeda dengan Maula yang sanggup membawa tiga kotak kayu.
"Taruh disini saja, temani kakak ke pusat kota ya. Mau beli sesuatu." Maula tersenyum. "Kamu mandi dulu."
"Saya sudah mandi."
"Kapan?"
"Kemarin."
Senyum Maula menjadi cenat-cenut. "Mandi lagi, yang wangi ya." Ia mendorong Rhino untuk segera kembali.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
"Rhino, kamu selalu melamun. Kenapa?"
Rhino menatap Maula dalam diam. Kemudian menundukkan kepala. Sepertinya tidak mau menjawab.
"Saya bermimpi."
Sebuah perasaan de javu.
"Mimpi apa?" tanya Maula.
"Gadis itu mendatangi saya lagi. Kali ini, saya melihat seluruh tubuhnya secara jelas."
Maula tertegun. Ia berpikir, apa Rhino sedang masa pubertas ya?
"Dia mendekati saya, tangan kanannya mencengkram kepala saya dan saya berlutut di hadapannya. Kemudian tangannya tiba-tiba mengelus kepala saya, baru setelah itu berkata--
"Temui saya."
Maula diam saja. Sampai akhirnya ia bertanya. "Siapa gadis yang ada di mimpimu itu?"
Rhino membuka mulut dengan ragu.
"Salah satu penyelamat galaksi."
"Orang yang membuat hologram."
"Namanya, Ruru."
Dan malam itu, pertama kalinya bagi Maula. Ia melihat Rhino tersenyum dengan mata yang menyipit.
Lelaki itu mulai menyadari dunianya. Mulai menyadari posisinya. Dan sadar bahwa ia lahir karena sebuah tanggung jawab yang harus diemban. Sebuah peninggalan dari leluhur yang harus di bangkitkan lagi.
"Kak, bantu aku membangkitkan DianXy."
Rhino adalah orang yang telah ditakdirkan untuk menjadi penerus. Ia diciptakan untuk melanjutkan semuanya.
Karena itulah, arti namanya.
"Aku akan memimpin."
──────⊹⊱✫⊰⊹──────">Suasana pagi yang cerah disertai cicitan burung. Angin sepoi berembus pelan menerbangkan helaian rambut. Mengelus pelan wajah bocah berusia sepuluh tahun itu. Sedang ia tampak menikmati setiap embusan angin yang mengenai tubuhnya.
Rambut putihnya bergerak seiring kepala ia tundukkan ke bawah. Kelopak mata itu perlahan terbuka, menampilkan iris seputih salju yang menatap hening ke sepatu hitam yang ia pakai.
Seiring embusan angin kian memudar. Ia mendongakkan kepalanya ke atas, menatap langit biru cerah disertai awan. Bersama dengan lapisan hologram yang terlihat tipis-tipis bersembunyi malu-malu di antara awan putih.
Semua penduduk planet Ferless sudah mengetahui tentang hologram tersebut. Katanya, hologram itu sudah ada sejak beratus juta tahun silam. Tujuannya untuk melindungi planet dari serangan alien jahat atau pun benda galaxy yang bertujuan buruk untuk menghancurkan planet. Karena itulah planet Ferless hidup dengan damai sejak beratus juta tahun lamanya.
Bukan hanya planet Ferless. Ada banyak planet lain yang memiliki hologram serupa.
Rumornya, hologram ini berasal dari salah seorang anggota di pasukan penyelamat galaksi. Nama pasukan itu adalah 'DianXy'. Namun, pasukan tersebut menghilang setelah perang gerilya yang mengakibatkan kehancuran sebuah planet.
Ada yang menyebut, semua pasukan penyelamat galaksi itu tewas karena perang.
Meski begitu, semua orang di galaksi menantikan datangnya pahlawan baru yang akan melindungi galaksi. Mereka yakin bahwa hologram ini adalah salah satu tanda bahwa para pahlawan galaksi tidak akan menyerah untuk menyelamatkan orang-orang yang tidak bersalah.
"Rhino, ayo masuk. Nanti kamu flu."
Suara yang tegas sekaligus lembut itu membuat sosok bocah kecil bernama Rhino pun menoleh. Mendapati sosok yang tak jauh berbeda darinya tengah tersenyum dengan tangan terulur.
Rhino lompat turun dari tempat duduknya. Meraih tangan yang adalah kakaknya itu, lalu bergandengan menyusuri jalanan bersalju agar cepat sampai ke dalam rumah.
Planet Ferless, sebuah planet di tata surya yang tempatnya cukup tersembunyi dari planet lain. Planet itu berada di antara puluhan planet mati sehingga tidak akan ada yang menyadari keberadaan planet Ferless ini. Meski begitu, planet Ferless memiliki keunikan pada penduduknya yang tidak di miliki penduduk planet lain.
Rambut mereka adalah simbol ingatan. Semakin banyak yang mereka tahu dan mereka ingat, akan semakin banyak helai rambut mereka menjadi hitam. Begitu juga sebaliknya jika helai rambut itu putih.
Mata mereka adalah simbol ekspresi. Warna mata mereka berubah-ubah tergantung mood si pemilik mata. Itu membuat para penduduk di planet Ferless jadi tidak bisa berbohong kepada satu sama lain.
Tubuh mereka adalah simbol sejarah. Akan tumbuh tato unik berwarna hitam pada bagian tubuh yang terkait dengan peristiwa atau kejadian tertentu. Dan tato tersebut akan abadi meskipun pemiliknya hilang ingatan atau mati.
Selain itu, beberapa penduduk memiliki kekuatan yang disebut sebagai bakat suci. Dari sekian banyak penduduk yang ada, hanya akan ada segelintir orang saja yang memiliki kekuatan.
Dan Rhino adalah salah satu dari segelintir orang tersebut.
"Hatchi!"
"Tuh kan, kamu kena flu."
Rhino menggosok hidungnya yang memerah. "Maaf, Kak Rio."
Pemuda yang ia panggil dengan sebutan Kak Rio itu pun tersenyum. Ia berjongkok di hadapan adiknya dan membantu membenarkan syal yang di pakai Rhino. "Tidak apa-apa, nanti kita mandi air panas ya."
Rhino mengangguk dengan gemas. Membuat Rio ingin sekali melahap dan menelan bulat-bulat adik satu-satunya itu.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
"Rhino, kamu melamun lagi."
Rhino menoleh dengan pelan menghadap asal suara. Itu kakaknya, Rio. Memandang heran terhadap adiknya.
Tidak ada jawaban dari Rhino. Rio segera duduk di sebelah adiknya, melihat apa yang selalu adiknya lihat di pagi hari.
Yang Rio tahu, Rhino punya kebiasaan untuk bangun di pagi hari dan duduk diam sambil melihat langit. Rhino adalah anak yang amat pendiam, jadi tidak pernah Rhino bercerita tentang apa yang sebenarnya ia lihat di setiap pagi itu.
"Rhino, kenapa kamu selalu melihat langit?" tanya Rio pada akhirnya. Meski pertanyaan ini sering ia tanyakan dulu. Tapi, Rhino tidak pernah menjawabnya.
Rhino lagi-lagi tidak menjawab apapun. Pandangannya kosong menghadap ke langit. Rambut putih yang tersibak dan manik seputih salju itu. Terkadang Rio bertanya-tanya soal Rhino.
Dokter mengatakan bahwa Rhino memiliki kerusakan ekpresi yang menyebabkan Rhino sulit mengekspresikan emosi. Nama penyakitnya, Alexithymia. Dan Rhino adalah penduduk planet Ferless pertama yang memiliki penyakit seperti itu.
"Rhino," panggil sang kakak.
Rhino tiba-tiba menunjuk ke langit. Membuka mulut, ia bersuara. "Saya selalu bermimpi, tentang langit."
Rio langsung excited mendengar adiknya akan bercerita. "Oh ya, lalu?"
"Saya melayang di langit, di antara awan-awan."
Rio tersenyum-senyum. Berpikir mimpi Rhino cukup indah. Bahkan mata Rio berubah warna menjadi hijau.
"Di sana, ada seorang perempuan asing mendekati saya. Ia memakai jubah berwarna hitam, lalu matanya cantik sewarna senja. Dia bilang--"
"Kamu adalah yang terpilih oleh takdir."
Rio terhenyak kaget. Seolah-olah hal yang diceritakan adiknya itu bukan mimpi semata. Ada makna dalam mimpi itu yang Rio rasa adalah sesuatu yang sangat besar dan menakutkan.
Rhino masih setia menatap langit. Kemudian bergantian melihat ke wajah kakaknya. "Kak, siapa yang membuat hologram itu?"
Rio melirik sekilas ke langit. Ia juga tahu tentang cerita itu. "Salah satu anggota pasukan penyelamat, kenapa?"
Jeda beberapa detik sebelum Rhino kembali membuka suara.
"Hologram itu sudah tidak bisa bertahan lagi."
"Katanya, takdir akan segera dimulai."
Tepat setelah itu, tiba-tiba datang ledakan dari sisi lain planet Ferless. Rio berdiri dengan kaget. Memandang ke atas langit. Ia temukan hologram itu meredup.
Dan hujan bom semakin menjadi.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
Planet Ferless sudah hancur porak poranda akibat serangan alien asing berwajah jahat yang hendak menginvasi planet mereka. Sebagian penduduk telah tewas. Beberapa anak dengan bakat suci itu dikurung dan dicuri kekuatannya.
Sudah tidak ada lagi harapan untuk mereka. Segalanya telah dirampas dan dicuri.
Teriakan penuh kesakitan itu menjerit bagai lagu untuk para alien jahat. Bau amis dimana-mana. Cahaya yang menerangi hanyalah api bekas ledakan yang membakar rumah-rumah penduduk.
Rio berlari dengan tergopoh-gopoh. Membawa Rhino yang tidak sadarkan diri akibat terlempar saat ledakan.
Pandangan Rio berkunang dan buram. Kepalanya dibasahi darah. Kaki dan tangannya lecet. Namun ia tetap paksakan untuk berlari.
"Akh!"
Terjatuh dirinya karena sudah tidak sanggup. Rhino terhempas ke rerumputan. Rio berusaha bangkit, namun apa daya tubuhnya tidak sanggup lagi bahkan untuk sekedar menggerakkan kaki.
"Rhino ... Rhino ... Bangun dan larilah."
Rhino bergerak, membuka mata. Ia menoleh dan menyaksikan sang kakak dalam keadaan mengenaskan.
Sang kakak menarik tangan Rhino. Menaruh sebuah liontin berwarna hitam pekat yang dibasahi darah akibat lukanya. "S-selamatkan ... dirimu."
"B-berjanjilah ... kau akan s-selamat."
Rio berusaha menghirup oksigen meski sakit. Rhino mengubah posisinya menjadi duduk. Ia julurkan kedua tangannya mengarah ke kepala sang kakak.
"Kak, aku--"
Jleb!
Sebuah panah menancap mulus di kepala Rio. Pandangan Rio hitam, kepalanya jatuh ke tanah. Dan dia, mengembuskan napas terakhirnya.
"Kak? Kak Rio?"
"Ada yang masih hidup rupanya."
"Hei, bukankah itu bocah dengan bakat suci? Ternyata dia kabur."
"Tangkap dia."
Segerombol alien jahat berdatangan. Rhino masih terpaku pada kakaknya.
Manik Rhino yang awalnya putih itu, perlahan menjadi hitam. Hitam pekat. Dan air mata, jatuh meluncur di pipi kirinya.
Bagi Rhino yang hanya mengenal kakaknya saja. Kini, kakak yang merupakan dunianya itu. Telah mati di depan matanya.
Dan Rhino, telah kehilangan dunianya.
"Aaa ..."
Rhino menunduk. Memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Ia menunduk dengan dalam. Terlihat seperti benar-benar menyesal.
"Aaahhhh ..."
Muncul aura berwarna putih di sekeliling tubuh Rhino. Para alien itu was-was, berpikir untuk menebas kepala Rhino.
Namun Rhino, ternyata memiliki bakat yang jauh lebih mengerikan dibanding anak-anak berbakat yang lain.
"AAAAAAAAAAA!!!!"
Cahaya putih terang benderang dari Rhino menembus langit. Seluruh planet dalam sekejap ditutupi oleh aura putih.
Semua alien tiba-tiba mulai terkejut saat tubuh mereka menyusut. Dan lama-kelamaan menghilang bagai debu. Bahkan penduduknya juga.
Planet Ferless mulai hancur dan retak. Semua tumbuhan dan pemukiman mulai lebur bagai debu. Semua makhluk hidup di atasnya juga perlahan menghilang.
Rhino telah mencuri waktu.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
Semua telah hancur dan rusak. Tidak ada yang tersisa. Benar-benar kosong dan hampa. Seperti sebuah planet mati, begitulah keadaan planet Ferless sekarang.
Rhino telah mencapai batasnya. Ia terduduk diam menatap langit.
Matanya hitam. Rambutnya putih sebagian hitam. Muncul tato semicolon yang muncul di bagian bawah mata kirinya.
Rhino menoleh ke kanan dan ke kiri. Menemukan sebuah rongsokan berbentuk pesawat angkasa. Tanpa berpikir lama, ia seret dirinya ke sana. Menggunakan kekuatannya, ia berhasil membuat pesawat itu kembali mulus seperti baru diciptakan.
Rhino memasuki pesawat itu dan mulai menerbangkan pesawat untuk pergi dari sana. Namun karena baru pertama kali mencoba, pesawat angkasa tersebut sempat oleng ke kiri dan ke kanan.
Sampai akhirnya ia berhasil keluar dari planet tersebut. Kapal angkasanya melayang-layang tanpa tujuan.
Rhino mulai lemas. Pandangannya kabur. Dalam sekejap, ia sudah terjatuh tak sadarkan diri di kursi kemudi.
Hingga pesawat tersebut menuju ke sebuah planet.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
Rhino membuka matanya, mengerjapkan matanya berkali-kali.
"Oh, kamu sudah siuman."
Rhino menoleh ke arah seorang perempuan berambut merah yang tengah membawa nampan makanan. Perempuan itu menaruh nampannya di atas nakas. Lantas menyodorkan ke Rhino segelas air.
Rhino menerima dan meneguknya. Selesai, ia taruh di antara pahanya. Kemudian melirik ke arah perempuan itu.
"Siapa namamu? Ah, sebelumnya, nama saya Maula."
Rhino mengangguk. "Rhino."
Maula tidak bertanya lebih lanjut. Dilihat dari kondisi Rhino, sepertinya ada suatu hal yang terjadi. Dan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Maula dengar-dengar, memang banyak gosip terjadi semenjak hologram di langit mulai meredup. Firasat buruk menghantui. Maula rasa, akan terjadi sesuatu yang besar.
Perempuan itu tidak bertanya apapun ke Rhino. Tahu jika hal itu bukan sesuatu yang dirinya pantas untuk tahu. Sementara Rhino hanya diam saja, lagi-lagi memandang langit lewat jendela.
"Kak," panggil Rhino. Maula melihat ke arahnya.
"Ya?"
"Kakak tahu soal cerita penyelamat galaksi?"
Maula terdiam beberapa saat. Kemudian mengangguk, ia pernah mendengar rumor penyelamat galaksi waktu kecil.
"Saya tahu sebagian."
"Ceritakan padaku," pinta Rhino. Rhino menatap Maula, bukan dengan ekspresi meminta tolong. Namun seolah-olah memiliki kewajiban untuk mengetahui cerita itu.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
Berbulan-bulan berlalu. Rhino tinggal bersama Maula di rumahnya. Rhino membantu keluarga Maula untuk berkebun dan mengurus hewan ternak. Meski awalnya menolak keberadaan Rhino, keluarga Maula berangsur-angsur menerima Rhino sebagai bagian dari mereka.
Rhino setiap pagi sekali, akan bangun duluan dan duduk di luar sembari menatap langit. Kadang juga sambil membaca buku yang ia pinjam dari perpustakaan desa.
Rambut Rhino kian menghitam saat diceritakan soal penyelamat galaksi atau membaca buku yang menjelaskan soal hal demikian. Sekarang, separuh rambutnya telah menghitam.
"Rhino, ayo bantu memberi makan ternak," ajak Maula. Rhino mengangguk, ia turun dari kursinya dan mengikuti Maula seperti anak ayam.
Lalu, satu hal lagi tentang Rhino yang diketahui Maula adalah--
"Rhino, awas! Papannya!!"
Rhino kurang gesit. Atap peternakannya ada yang jatuh ke arahnya. Namun, atap itu tiba-tiba patah dan terbelah dua. Lalu jatuh tanpa mengenai Rhino sedikit pun.
Rhino punya keberuntungan yang rasanya terlalu besar. Big luck sebutannya kalau dalam permainan video game. Dan hal itu selalu terjadi.
Maula keluar membawa banyak kotak kayu. Diikuti Rhino yang membawa barang sama. Meski Rhino cuma sanggup membawa satu kotak kayu, berbeda dengan Maula yang sanggup membawa tiga kotak kayu.
"Taruh disini saja, temani kakak ke pusat kota ya. Mau beli sesuatu." Maula tersenyum. "Kamu mandi dulu."
"Saya sudah mandi."
"Kapan?"
"Kemarin."
Senyum Maula menjadi cenat-cenut. "Mandi lagi, yang wangi ya." Ia mendorong Rhino untuk segera kembali.
──────⊹⊱✫⊰⊹──────
"Rhino, kamu selalu melamun. Kenapa?"
Rhino menatap Maula dalam diam. Kemudian menundukkan kepala. Sepertinya tidak mau menjawab.
"Saya bermimpi."
Sebuah perasaan de javu.
"Mimpi apa?" tanya Maula.
"Gadis itu mendatangi saya lagi. Kali ini, saya melihat seluruh tubuhnya secara jelas."
Maula tertegun. Ia berpikir, apa Rhino sedang masa pubertas ya?
"Dia mendekati saya, tangan kanannya mencengkram kepala saya dan saya berlutut di hadapannya. Kemudian tangannya tiba-tiba mengelus kepala saya, baru setelah itu berkata--
"Temui saya."
Maula diam saja. Sampai akhirnya ia bertanya. "Siapa gadis yang ada di mimpimu itu?"
Rhino membuka mulut dengan ragu.
"Salah satu penyelamat galaksi."
"Orang yang membuat hologram."
"Namanya, Ruru."
Dan malam itu, pertama kalinya bagi Maula. Ia melihat Rhino tersenyum dengan mata yang menyipit.
Lelaki itu mulai menyadari dunianya. Mulai menyadari posisinya. Dan sadar bahwa ia lahir karena sebuah tanggung jawab yang harus diemban. Sebuah peninggalan dari leluhur yang harus di bangkitkan lagi.
"Kak, bantu aku membangkitkan DianXy."
Rhino adalah orang yang telah ditakdirkan untuk menjadi penerus. Ia diciptakan untuk melanjutkan semuanya.
Karena itulah, arti namanya.
"Aku akan memimpin."
──────⊹⊱✫⊰⊹──────